Padapanik.com - Mengabadikan
sebuah gambar melalui bidikan kamera, mungkin dianggap hal yang mudah oleh
kebanyakan orang. Namun hal itu tidak berlaku bagi foto jurnalistik, dibutuhkan
skill dan jam terbang yang cukup untuk bisa menghasilkan sebuah karya foto yang
menyimpan kisah dan informasi menarik bagi masyarakat. Melalui sebuah acara
yang bertajuk “Di Balik Bingkai Seorang Jurnalis”, mahasiswa yang tergabung
dalam organisasi Keluarga Mahasiswa Junralistik (KMJ) Universitas Islam Bandung (Unisba) menggelar
acara pameran foto dan seminar foto pada 28-29 Mei.
Bertempat
di Student Center Unisba, acara ini
terbagi ke dalam dua sesi. Pada hari pertama, pengunjung disuguhkan dengan
berbagai karya foto hasil karya mahasiswa yang dapat dinikmati secara gratis.
Peringatan Mayday atau hari buruh
sedunia, menjadi tema pameran foto kali ini. Sebagai pekerja media, jurnalis
juga merupakan buruh yang ikut terlibat dalam memperjuangkan hak kaum buruh
yang sampai saat ini belum terpenuhi.
Beragam
aksi kaum buruh yang terjadi pada peringatan Mayday di kisahkan melalui sebuah
karya foto jurnalistik. Cerita haru, menegangkan, dan menggugah emosi disampaikan
oleh mahasiswa melalui sebuah foto. Berbagai foto yang dipamerkan merupakan
karya masyarakat jurnalistik Unisba saat peringatan hari buruh di Bandung dan
Jakarta pada 1 Mei. Melalui foto tersebut pengunjung diharapkan dapat masuk dan
meresapi segala peristiwa besar yang terjadi pada Mayday. Bukan hanya itu,
segala momen yang terjadi juga berusaha untuk membawa pengunjung untuk larut
dan merasakan apa yang dialami oleh para jurnalis foto saat di lapangan.
Pada
hari kedua, sebuah seminar foto digelar. Seorang pewarta foto wanita yang
namanya sudah melanglang buana ke luar negeri dihadirkan menjadi narasumber
utama. Dia adalah Adek Berry yang juga merupakan anggota Photo Journalist di
sebuah News Agent yang cukup terkemuka di dunia yaitu Agence France Presse
(AFP). Pada kesempatan ini, beliau menjelaskan tentang pengaruh sebuah foto
bagi masyarakat. “Foto jurnalistik bukan lagi sekedar foto yang terpampang di
ruangan atau tersimpan di laci, lebih dari itu foto menjadi media untuk berbagi
informasi,” ujarnya.
Selain itu, Adek juga membagi
pengalamannya ketika seorang jurnalis ditugaskan untuk mengabadikan foto di
daerah konflik. Dia menuturkan tidak semua pewarta foto memenuhi klasifikasi
untuk turun ke daerah perang. Modal utama yang diperlukan oleh seorang jurnalis
adalah mental. Memotret di wilayah konflik bukan hanya sekedar memperkaya
wawasan seorang jurnalis, banyak peristiwa tidak terduga yang dapat membuatnya
shock. Jurnalis harus mampu menjaga kestabilan emosinya saat melihat kondisi
korban yang berserakan dan tak berdaya.
“Dalam
satu kondisi tertentu saya bahkan harus berjalan dibelakang petugas militer
yang memegang detector untuk
mengambil gambar. Nyawa menjadi taruhannya karena banyak ranjau bertebaran pada
saat itu,” kata wanita berjilbab ini. Mencari informasi sebanyak-banyaknya
menjadi hal wajib yang harus dilakukan oleh seorang jurnalis sebelum memasuki
wailayah konflik. Jurnalis dituntut untuk tahu banyak hal dan menciptakan
jaringan yang luas untuk memperoleh informasi baik itu dengan petugas, timsar,
aktivis, maupun wartawan lokal.
Dosen
psikologi Unisba, Suci Nugraha. S. Psi, M.Si yang didaulat menjadi narasumber
juga turut hadir dalam dan memberikan pandangannya mengenai dampak psikis
seorang photographer di daerah konflik. Beliau menyampaikan ketika seorang
jurnalis mengalami guncangan yang mengakibatkan trauma ketika meliput di
wilayah konflik maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuka diri
kepada orang lain.
“Mengeluarkan
perasaan negatif akan membantu kita untuk menyeimbangkan kembali emosi. Maka
bagilah apa yang kita rasakan, jangan biarkan trauma itu menggagu dan
berkelanjutan dalam diri kita karena trauma yang tidak selesai akan menjadi
gangguan emosi yang lebih berat saat kita mengalami hal serupa atau bahkan
lebih berat pada situasi lain,” ucapnya.
Oleh : Feari
Foto : Feari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar