padapanik.com - Tolak ukur dari kesuksesan sebuah film mungkin dapat dilihat dari berbagai perspektif mulai dari hasil penjualan tiket, piala penghargaan yang didapatkan dari berbagai festival atau saat film itu sendiri menjadi perbincangan kaula muda di media sosial. Keberhasilan sebuah karya film itu sendiri tak terlepas dari hasil kerja sama crew yang tentunya telah bekerja dalam porsi masing-masing dengan optimal. Kemampuan seorang soundman memadupadankan suara dengan gambar tentu menjadi salah satu aspek penting yang membuat karya film begitu mampu membuat penonton betah dan menikmatinya.
Pernahkah terbayang dalam benak kamu
jika sebuah film thriller yang seram
diisi dengan backsound Warkop DKI
yang ceria? Mungkin kamu akan menggerutu melihat sebuah aksi pembunuhan yang
kejam menjadi tak selaras karena dibumbui dengan musik bernuansa komedi. Jadi
untuk membuat sebuah film dan menciptakan suasana tertentu dibutuhkan
keterampilan dan naluri yang kuat dari sang aransemen musik.
Lewat sebuah Seminar & Workshop .NOT Sound Design, Keluarga Mahasiswa Manajemen
Komunikasi (KMMK) Unisba menggaet Dissa
Kamajaya (Jakesperiment, Sembilan Matahari) dan duo kakak beradik Evan Storm dan The Babams (Storn Labs). Melalui seminar yang diselenggarakan pada
23 November ini, para pengisi acara mencoba untuk membagikan kisah dan
pengalamannya mengenai dunia sound design.
Evan Storn yang produktif
menghasilkan karya lewat alat analog
modular synthesizer menginterpretasikan jika sound design for film merupakan suatu proses dalam membangun,
memperoleh, memanipulasi, atau menghasilkan sebuah audio. Dia mengungkapkan seseorang akan punya imajinasinya sendiri
ketika melihat suatu visual. Selera
seseorang akan bergantung pada karya yang dihasilkannya, imajinasi orang akan
mempunyai warna yang berbeda untuk membuat sebuah visual lebih hidup dan berwarna.
Pada seminar ini Evan ditantang oleh
panitia untuk melakukan simulasi langsung dalam proses pembuatan sound melalui analaog syintizer yang dibawanya. Dalam
waktu singkat, dia menunjukan kepiawaianya dengan menggambarkan suasana hujan,
petir, dan werewolf untuk membuat
suasana malam yang mencekam. Kolaborasi suara itu pun berhasil membuat beberapa
imajinasi penonton terangsang dan memejamkan mata untuk menciptakan visual sendiri melalui pikirannya.
“Ketika membuat karya dengan sound kalo bisa se original mungkin, mengambil audio hasil orang
lain untuk sebuah karya sah saja tapi itu menurunkan keoriginalitas karya
kita”, ungkapnya. Dia juga memberikan motivasi kepada peserta yang datang untuk
jangan lelah belajar dan memperkaya wawasan tengan sound design sebab kemampuan yang dimilikinya merupakan otodidak
dan hasil ketekunanya dalam belajar.
Tak berbeda jauh dengan kakaknya Evan, The Babams
yang dikenal sebagai mixing mastering dan
audio producer turut mempertontonkan
keahlianya dalam memanipulasi suara. Pada simulasi kali ini, The Babams meminta
bantuan salah satu peserta untuk ikut terlibat dalam proses mixing. Dengan menampilkan visual tiga
dimensi dinosaurus, peserta diminta untuk mengisi suara dengan menirukan suara
hewan purba yang pada kenyataanya belum pernah dia temui dan lihat langsung.
Meskipun suara yang diisi berasal dari tenggorakan seorang wanita tapi nyatanya
hal tersebut tidak menimbulkan kesulitan yang berarti. Hanya dalam kurun waktu
lima menit, The Babams berhasil menyulap suara peserta menjadi auman seekor
dinosaurus buas. Suara tawa dan tepuk tangan pun menggema di dalam aula
melihat The Babams mempertunjukkan kebolehannya.
Dissa Kamajaya (DJ jakesperiment, sound
designer, music producer, audio visual creator) didaulat menjadi
pembicara terakhir turut membagikan pengalamannya dalam dunia sound design. Dia mengatakan jika design adalah fungsi kita memanipulasi,
baik itu gambar maupun sound. Meski
keberadaanya sebagai sound design
kerap kali dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, dia mengatakan kalau
untuk menyeleraskan alur cerita dengan sound
harus diperlukan sinergi yang tak mudah dilakukan semua orang. Kegeniusannya
inilah yang berhasil mengantarkan sembilan matahari bersama salah satu karyanya
melanglang buana ke berbagai penjuru dunia.
Menutup acara seminar, penonton disuguhkan dengan
penampilan dua band indie asal Bandung yaitu Teman Sebangku dan Munthe.
Rangkaian kegiatan .NOT Sound Design ditutup dengan kegiatan workshop yang
diselenggarakan di tempat berbeda yaitu The Kiosk’ Me pada tanggal 24-25
November. Kegiatan ini bersifat eksklusif bagi dua puluh peserta yang mendaftar
dan rela dipungut biaya sebesar Rp. 175.000, Selain mendapatkan T-shirt, ID card, bulletin, sticker, snack,
certificate, dan software.
Peserta bisa belajar lebih intim dan dimentori langsung oleh ketiga pembicara
dan menikmati suguhan musik dari Bottlesmoker.
Oleh : Feari
Foto : Feari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar