padapanik.com - Sudah terhitung cukup lama saya tidak menonton pertunjukan teater. Jika tulisan ini selesai, berarti ini liputan event teater pertama yang di liput padapanik.com haha. Kami akhirnya berjodoh dengan salah satu LKM (Lembaga Kegiatan Mahasiswa) Teater di Universitas Islam Bandung yang cukup aktif mengadakan pertunjukan teater dengan berbagai skala panggung. STUBA (Studi Teater UNISBA) kini kembali dengan generasi baru nya yang akan di buktikan melalui pertunjukan "Robohnya Surau Kami" karya A. A. Navis yang di adaptasi oleh Hermana HMT.
Kata "Surau" merajuk pada tempat ibadah umat Islam yang lebih kecil, istilah yang kerap di gunakan di daerah Sumatera. Hal tersebut coba di gambarkan STUBA dengan empat pilar bangunan yang mewakili empat pilar islam yang coba di sampaikan dalam pertunjukan ini. Dan sebuah pilar kelima ditengah yang digambarkan dengan pilar bangunan yang belum selesai. Setelah musik selesai, seorang pria menggunakan gamis pria lengkap dengan atribut lainnya naik ke atas mimbar lalu mengumandangkan adzan, diikuti dengan beberapa jamaah lainnya yang dengan khidmat mendengarkan lantunan adzan tersebut. Saya merasakan adzan tersebut dibawakan sama seperti biasanya tapi dengan perasaan yang berbeda. Gemetar sampai bulu kuduk saya berdiri terus menerus, hingga akhirnya punchline nya keluar. Seorang gadis berkerudung dengan pakaian dari trash bag (bagian ini saya gagal menemukan point nya) yang menangis dengan penuh penghayatan, salah satu ciri khas teater yang meledak membuat suasana berubah total. Akhirnya ingatan saya kembali pada pertunjukan teater-teater yang pernah saya saksikan.
and cut....
Seorang pria masuk dan menghentikan suasana yang gelap berubah kembali normal. Kini ia menyapa penonton terlihat seperti lenong. Ia berperan sebagai pemimpin teater yang mengatur mood pertunjukan dan memarahi gadis yang menangis tadi. Ia mengingatkan kalau tidak boleh lagi ada tangis-menangis dalam pertunjukan selanjutnya. Hal ini seperti mengingatkan penonton bahwa teater tidak melulu soal racauan-racauan penuh emosi dari para pemainnya. STUBA hari itu memberikan garansi terhadap penonton nya sebelum alur cerita berjalan terlalu jauh, sekaligus mengingatkan bahwa isi pertunjukan ini yang mengandung konten sensitif yang harus di tonton dengan pikiran terbuka. Dan akhirnya pertujukan sebenarnya dimulai...
Terlalu panjang kalau menceritakan apa yang Saya saksikan saat itu. Mungkin kalian juga sudah mulai pegel bacanya. Intinya, "Roboh nya Surau Kami" menggambarkan roboh nya nilai-nilai keislaman dalam diri manusia. Sebuah part menceritakan tentang seorang haji yang akhirnya masuk neraka karena gagal di lingkungan sosial nya. Yah mungkin sama seperti tokoh antagonis dalam sinetron fenomenal dengan ratusan episode "Tukang bubur naik haji". Sedangkan part lainnya adalah tokoh Ajo Sidi yang misterius dan sempat menyisahkan banyak teka-teki. Yah, dia adalah seorang penulis cerita dalam teater ini yang masuk mengganggu kehidupan karakter yang dia ciptakan sendiri. Ia terkenal sebagai pendongeng pembual yang menghasut tokoh lainnya. Ide yang sangat brilian, sayang sekali pertanyaan tentang sosok Ajo Sidi hanya bisa terjawab di sesi tanya jawab setelah pertunjukan.
Konten yang dibawakan dapat dilihat sebagai konten yang berani dan sensitif, namun disisi lain terlihat usaha STUBA untuk menampilkan sesuatu konten yang selaras dengan tema islami yang sesuai dengan almamater nya, sekaligus mengingatkan tentang konsep islam yang tidak melulu soal melaksanakan rukun-rukun Nya. Eh, Saya gak ngerti apa-apa, ini pendapat orang awam aja..
Penulis :
Ashari @arhieashari, gak ada basic teater sama sekali, terakhir nonton teater di tahun 2014Foto :
Avicena @Avicenareza, filmmaker yang mungkin saja lebih paham tentang teater, harusnya dia yang nulis liputan sih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar