Banner

Banner

ADVERTISE

Istirahatlah kata-kata : Sendiri bersama Wiji Thukul

|
www.padapanik.com - 19 Januari 2017 adalah hari perdana pemutaran film "Istirahatlah Kata-kata". Sayangnya banyaknya film yang masuk di tanggal itu  membuat film ini hanya mendapat 2 layar di pemutaran perdana nya. Di Bandung hanya ada Cihampelas walk pada jam 12.00 dan 14.00 siang. Bahkan pembelian tiket baru di buka pukul 11.30. Apakah pihak bioskop meragukan peminat film ini?

Siang itu, ada suasana berbeda di XXI ciwalk. Bioskop di penuhi orang-orang dengan penampilan berbeda, mungkin di penuhi para kritikus film, aktivis atau para penggemar sastra. Saya kurang paham sebenarnya, Wiji Thukul hanya saya ketahui sepintas tanpa mendalami sejarah track record nya. Tapi sejak awal melihat trailer nya, saya jadi tidak sabar menunggu film nya. Ternyata pihak bioskop salah, Ruangan bioskop penuh bahkan di pemutaran kedua pun ikut sold out. Hal ini membuat XXI menambah menjadi 5 kali pemutaran dalam sehari. 

Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) adalah seorang penyair yang pada tahun 1980an menjadi populer dengan menciptakan puisi yang menjadi bahan bakar perlawanan terhadap tirani orba masa itu. Wiji Thukul bukan berasal dari kalangan mahasiswa, ia hadir dari kalangan rakyat kecil yang memilih turun langsung dalam usaha menggulingkan pemerintah. Kerusuhan Jakarta 1996 membuat ia dianggap berbahaya dan menjadi buronan pemerintah. Wiji Thukul akhirnya bersembunyi jauh hingga Pontianak dan berusaha hidup dengan identitas palsu. Disisi lain, Istrinya Sipon (Marissa Anita) hidup dengan dua anak nya di solo dalam pengawasan yang ketat. 
Film biografi / sejarah memang biasanya berjalan lambat. Alurnya pelan sehingga bagi yang tidak biasa akan mudah untuk meninggalkan kursi lebih cepat dari seharusnya. Film ini memulai dengan bahasa-bahasa sinematografi yang tidak mudah untuk di mengerti. Saya hanya mencoba menikmati suguhan audio visual nya saja selama beberapa menit awal. 

Sinematografi film ini harusnya mendapat penghargaan, suguhan tempat-tempat sederhana berhasil di buat indah dengan sudut pengambilan gambar yang brilian. Bahkan colour grading (teknik pewarnaan pada gambar) nya pun tidak banyak atau mungkin penggunaannya yang tidak berlebihan. Harusnya ini menampar para filmmaker yang menghabiskan ratusan juta untuk mengambil set lokasi di luar negeri. 

Sorotan saya tidak hanya pada visualnya saja, tapi pada penata suara yang gak kalah brilian nya. Sangat detail. Di beberapa scene saya mencoba memejamkan mata untuk menikmati audio nya yang lebih banyak bercerita. Beberapa scene sengaja tidak di buat stereo untuk menyempurnakan hasil film. Harusnya film ini jadi salah satu referensi penting dalam mata kuliah Sinematografi. Scene favorit saya adalah saat Wiji Thukul dan kedua teman nya ke warung kopi di malam hari. Hanya ada satu kamera yang mengambil dari sudut sempit mencoba menvisualkan suasana tanpa ada perpindahan kamera dalam waktu yang lama. Disitulah penonton akan fokus menikmati suguhan audio yang bercerita jauh lebih banyak tentang betapa serunya obrolan mereka malam itu. Saya juga merinding ketika Wiji Thukul dan Sipon bersenandung lagu "Darah juang" dengan siulan untuk melepas rasa rindu mereka. 

Film ini secara keseluruhan minim dialog, sinematografi dan audio nya memperkuat jalan nya cerita. Bahkan beberapa scene sepertinya di ambil di waktu-waktu yang sangat niat. Sampai saya menyadari satu hal. Film ini mengajak kita untuk merasakan kesendirian dan ketakutan menjadi seorang Wiji Thukul. Film ini membawa penonton kedalam kehidupan seorang penyair yang harus berlari menjauh dari musuh yang ada dimana-mana. Sosok protagonis namun harus meninggalkan istri dan anaknya selama berbulan-bulan untuk bersembunyi. Selama berpuluh-puluh menit saya dipaksa mengenal seorang Wiji Thukul dan merasakan perjuangan nya yang menyedihkan. 

Wiji Thukul tidak berani keluar saat matahari terik, ia akan keluar di malam hari hingga subuh ber melankolia dan menuliskan kata-kata yang ada di kepala nya. 

Film ini tidak setegang yang kalian bayangkan. Tenang saja, banyak dialog-dialog yang mengandung humor sehari-hari. Mudah untuk menimbulkan tawa. Film ini menggambarkan bahwa Wiji Thukul selalu menggunakan bucket hat dan totebag menunjukan betapa hipster nya di zaman itu. Bahkan sebelum style itu di banyak di pakai di acara gigs musik.

Seperti kebanyakan film sejarah, film ini berakhir dengan sendirinya dan sisanya di jelaskan melalui tulisan. Jelas film ini tidak di tulis ala 3 babak yang telah di siapkan happy ending nya di akhir. Namun saya ingin memuji Yosep Anggi Noen dan para kru. Semoga film ini mendapat lebih banyak lagi apresiasi.

Oh iya, film ini juga di tayangkan di beberapa festival film di luar negeri dengan judul "Solo solitude". Puisi "Bunga dan Tembok" yang di musikalisasi oleh Fajar Merah sang anak menjadi bagian yang manis di akhir. Saya dan penonton lainnya seperti di beri waktu dan fokus tingkat tinggi sebelum lagu itu di putarkan. Dan hingga saat ini masih saya dengarkan hingga review ini selesai.

"Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh".....

                       

8,5/10

Penulis :
Ashari @arhieashari, 
Tiket disponsori oleh ffbcommm

1 comment:

  1. eva sri rahayu26 January 2017 at 21:19

    Saya suka tulisan resensinya, Ari. Kuat dan hidup.
    Sejak ditayangkan sampai sekarang di medsos saya pun masih sering wara-wiri orang membicangkan film ini.
    Membuat penasaran.

    ReplyDelete