padapanik.com - Film terbaru Netflix The Devil All the Time diangkat dari novel berjudul sama karya Donald Ray Pollock. Uniknya, sang penulis novel juga bertindak sebagai narator di film ini.
The Devil All the Time dibintangi
oleh banyak aktor papan atas Hollywood, mulai dari Tom Holland, Bill Skarsgård,
Sebastian Stand, Robert Pattinson, Jason Clarke, hingga Mia Wasikowska. Maka
dari itu, tidak heran jika film ini cukup mudah dalam menarik minat penonton.
Namun, kita semua tahu film bertabur bintang tidak
selamanya menjanjikan. Lalu, bagaimana dengan The Devil All the Time?
Film ini fokus pada banyak karakter dengan masalah dan
timeline hidupnya masing-masing. Sedari awal, kita disajikan konflik
dari berbagai karakter yang nantinya akan saling bersinggungan satu sama lain.
The Devil All the Time mengambil
latar di dua kota kecil sekitaran Ohio, Amerika Serikat, bernama Meade dan
Knockemstiff pada akhir 1940an, pasca perang dunia ke-2. Cerita dibuka oleh
Willard Russell (Skarsgård) yang baru pulang perang dan jatuh cinta pada
seorang pelayan cantik bernama Charlotte (Haley Bennett). Dari keduanya,
lahirlah Arvin Russell (Holland) yang nantinya akan menjadi tokoh utama cerita.
Hidup adalah sekumpulan nestapa yang menunggu giliran
untuk datang dan film ini tahu benar cara menyajikannya. Arvin sudah berkenalan
dengan duka sejak kecil. Ibunya sakit kanker, lalu anjingnya dibunuh sang ayah
yang terbius dengan konsep pengabdian pada Tuhan. Mengorbankan satu untuk
menyelamatkan yang lain, mereka malah kehilangan keduanya.
Dibutakan malam, Arvin marah kepada ayahnya dan Tuhan.
Dia berlari sambil berteriak di hadapan tanda salib di tengah hutan, untuk
menemukan ayah yang sudah mengiris nadinya sendiri. Peristiwa ini menandai
pertemuan perdana Arvin dengan karakter penting lain, yakni Sheriff Lee
Bodecker (Stan).
Bodecker, berdedikasi namun korup seperti penggambaran
polisi di layar Hollywood pada umumnya, dikisahkan memiliki adik perempuan yang
gemar bertindak kriminal. Sandy (Riley Keough) dan partnernya Carl (Clarke)
kerap mengangkut para pemuda yang butuh tumpangan (hitchhiking) lalu
memaksa mereka berfoto cabul.
Setelah berhubungan seks dengan Sandy di alam terbuka,
para pemuda itu dibunuh dan fotonya dikoleksi. Carl yang gemar mengoleksi foto
sadis tersebut tidak jarang menyiksa korbannya terlebih dahulu. Sudah merasa
cukup atau masih perlu karakter problematik lain?
Sejak awal film, nuansa agama hadir begitu kuat.
Setiap karakternya juga mengalami transformasi kesucian yang beragam. Bagaimana
Willard muda yang tidak berkenan berdoa, namun malah membangun salibnya sendiri
di gelap hutan. Arvin, yang menyaksikan kepolosan ayahnya dalam berkorban,
justru menjadi sinis. Dia tetap ikut beribadah bersama nenek dan adik tirinya,
namun tetap percaya kekerasan adalah jalan keluar semua masalah. Semua punya
caranya sendiri, semua juga punya garis akhirnya masing-masing.
Perkembangan beragam karakter yang kuat seperti ini
menjadi salah satu poin penting dalam The Devil All the Time. Film yang
baik memang harus seperti ini. Dia tidak menunjukkan benar dan salah secara
kasat mata, tetapi membuka pikiran penonton akan beragam kemungkinan.
Selain mendalami karakter, penonton juga akan
dimanjakan oleh aksen Southern yang memiliki intonasi tinggi. Tentu
menarik menyaksikan Robert Pattinson keluar dari cangkangnya dan menjelma
menjadi pendeta bersuara lantang. Kita pun mulai bisa belajar mengenali Tom
Holland sebagai seorang aktor, bukan hanya superhero Marvel Spiderman.
Tidak perlu menjadi pecinta film berlatar lawas untuk
menyukai The Devil All the Time. Film ini menghadirkan paket lengkap
sebagai sebuah karya yang paripurna. Konfliknya rumit dan dengan cerdas
mencapai klimaks di akhir. Akting para pemainnya juga all out.
Terlepas dari porsi beberapa peran penting yang terasa
kurang banyak, film The Devil All the Time dari Netflix bisa menjadi
opsi tontonan menarik di akhir pekan.
Penulis:
Rean Hidayat @reanhidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar